Rabu, 23 November 2016

Guillain Bare’ Syndrom ( GBS)



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Guillain Bare’ Syndrom ( GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ terjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa definisi Guillain Barre Syndrom?
2.         Bagaimana etiologi Guillain Barre Syndrom?
3.         Apa saja klasifikasi Guillain Barre Syndrom?
4.         Bagaimana Manefestasi klinis Guillain Barre Syndrom?
5.         Bagaimana patofisiologis Guillain Barre Syndrom?
6.         Bagaimana penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom?
7.         Bagaimana Pohon masalah Guillain Barre Syndrom?
8.         Bagaimana Asuhan keperawatan Guillain Barre Syndrom?

C.       Tujuan
1.         Untuk mengetahui definisi Guillain Barre Syndrom
2.         Untuk mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrom
3.         Untuk mengetahui klasifikasi Guillain Barre Syndrom
4.         Untuk mengetahui Manefestasi klinis Guillain Barre Syndrom
5.         Untuk mengetahui patofisiologis Guillain Barre Syndrom
6.         Untuk mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
7.         Untuk mengetahui Pohon masalah Guillain Barre Syndrom
8.         Untuk mengetahui Asuhan keperawatan Guillain Barre Syndrom



BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Definisi Guillain Barre Syndrom
Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang tinggi.  (Symposium Guillain Barre Syndrom, di Brussel, 1937).
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).

B.       Etiologi Guillain Barre Syndrom
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
  1. Infeksi
  2. Vaksinasi
  3. Pembedahan
  4. Penyakit sistematik
  5. Keganasan
  6. Systemic lupus erythematosus
  7. Tiroiditis
  8. Penyakit Addison
C.       Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
a.    Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b.    Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c.    Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.   Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.    Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia
f.     Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

D.      Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.    Paraestasia (rasa baal, kesemutan)
b.    Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.    Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg  ganguan gerak bola mata, mimik wajah, bicara.
d.   Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi
e.    Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
f.     Gangguan frekuensi jantung
g.    Ganggua irama jantung
h.    Gangguan tekanan darah
i.      Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian punggung dan daerah lainnya.


E.       Patofisiologi Guillain Barre Syndrom.
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi

F.        Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
a.    Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)
a)    Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b)   Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan darah (blood pressure ).
c)    Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.
d)   Perawatan secara umum :
-             Physioterapi
-             perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
-             pertahankan ROM sendi
-             pertahankan fungsi paru
-             kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
-             pencegahan terhadap tromboemboli
-             pemberian antidepressant jika pasien depresi
b.    Penatalaksanaan Medis
a)    Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam melakukan tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal saline. Setiap hari  setelah terapi selesai, pasien diberi  ± 4-5 unit FFP (Fresh Frozen  Plasma) untuk menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil  dengan sangat baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini  sampai hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator
b)   Cairan , elektrolit dan nutrisi.
c)    Sedative dan analgetik.

G.    Pohon Masalah
terlampir




BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A.      Pengkajian
1.         Anamesa
a.    Identitas
·      Nama
·      Alamat
·      Umur
·      Jenis kelamin
·      status
b.    Keluhan utama
c.    Riwayat Penyakit Sekarang
sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
d.   Riwayat Penyakit dahulu
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain berhung dengan saluran pernapasan, pencernaan, atau penyakit lain seperti HIV, TBC
e.    Riwayat psikososial

2.         Pemeriksaan Fisik
a.    B1 (Breathing)
Klien tidak mengalami kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen normal, tidak ada penurunan kapasitas vital / paru.
b.    B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
c.    B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
d.   B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih
e.  B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
f.  B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

B.       Diagnosa
1.    Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
2.    Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
3.    Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
4.    Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter

C.       Intervensi
1.    Dx. 1 : Ketidak efektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic :
a.    Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
b.    Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya distrimia.
c.    Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
d.   Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada lutut/kaki.
e.    Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
f.     Pemberian heparin sesuai indikasi.
g.    Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
2.    Dx. 2 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
Nic :
a.    Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan secara individual.
b.    Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter roll, papan kaki.
c.    Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
d.   Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual.
3.    Dx 3 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensori
Noc : Nyeri teratasi
Nic :
a.    Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan skala 0-10.
b.    Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
c.    Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara individual
d.   Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
e.    Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.

4.    Dx 4 :  Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingte
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic :
a.    Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
b.    Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika pasien dapat menelan).
c.    Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara teratur.
d.   Beri obat pelembek feses.
e.    Tingkatkan diet makanan yang berserat.



BAB IV
CASE STUDY

A.      Deskripsi Kasus
Seorang laki-laki 18 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan tiba-tiba mengalami kelumpuhan kaki yang lama kelamaan menjalar sampai Ke pinggang. Klien mengeluh tidak bisa berdiri ataupun berjalan serta tidak bisa mengontrol BAB dan BAK. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa klien mengalami GBS.

B.       Pengkajian
1.         Pengkajian
a.    Identitas klien 
Nama                     : Muhammad Al Azeem
Alamat                  : Jl. Budi Utomo Ponorogo
Umur                     : 18
Jenis Kelamin       : Laki-Laki
Status                    : Lajang
b.    Keluhan utama  : kelumpuhan, kelemahan, dan inkontinensia urin & alvi
c.    Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 hari yang lalu klien mengeluh tidak bisa berdiri, kondisi semakin memburuk yaitu klien mengeluh kelumpuhannya menjalar ke bagian pinggang dan tidak bisa mengontrol BAB & BAK, upaya yang dilakukan selama menderita kelumpuhan yaitu keluarga membantu mobilisasi klien dan membantu higiene klien.

d.   Riwayat penyakit Dahulu
Sebelum klien mengalami kelumpuhan, dahulu klien tidak pernah mengalami tindakan bedah saraf.
e.    Riwayat Psikososial
Emosi klien tidak terkendali saat mengalami kelumpuhan.

2.         Pemeriksaan Fisik
a.    B1 (Breathing)
Klien tidak mengalami kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen normal, tidak ada penurunan kapasitas vital / paru.
b.    B2 (Bleeding)
Tekanan darah normal, denyut nadi normal.
c.    B3 (Brain)
Kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, gangguan keseimbangan tubuh.
d.    B4 (Bladder)
Menurunnya fungsi kandung kemih.
e.  B5 ( Bowel)
Tidak dapat mengontrol BAB, hilangnya sensasi anal.
f.  B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera

C.       Diagnosa
1.         Inkontinensia urine reflek
2.         Hambatan Mobilisasi Fisik


D.      Intervensi
1.         Dx      :Inkontinensia urine reflek berhubungan dengan penururan kapasitas kandung kemih. (Misalnya, riwayat penyakit radang panggul)
Intervensi                  :
a.         Bantuan perawatan diri :
eliminasi : membantu individu lain melakukan eliminasi manasemen eliminasi urine : memelihara pola eliminasi urine yang optimum.
b.        Pelatihan kebiasaan berkemih : menetapkan pola pengosongan kandung kemih yang dapat diperkirakan untuk mencegah ikontinensia pada individu yang mengalami keterbatasan kemampuan kognitif dan menderita ikontinensia urgensi, stress/fungsional
c.         Perawatan ikontinensia urine : membantu meningkatkan kontinensia dan mempertahankan integritas kulit perineum

2.         Dx      :Hambatan Mobilisasi Fisik Berhubungan Dengan Penurunan Kekuatan Kendali atau Masa Otot
Intervensi      :
a.    Promosi Mekanika Tubuh : memfasilitasi penggunaan postur dan pergerakan dalam aktivitas sehari hari untuk mencegah keletihan dan ketegangan atau cedera musculoskeletal
b.    Promosi Latihan Fisik : Latihan Kekuatan : memfasilitasi pelatihan otot resistif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot
c.    Terapi Latihan Fisik : Keseimbangan : menggunakan aktivitas,postur, dan gerakan tertentu untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot
d.   Terapi Latian Fisik : Ambulasi : meningkatkan dan membantu dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh autonom  dan volunter selama pengobatan dan pemulihan dari kondisi sakit atau cidera
e.    Terapi Latian Fisik : Keseimbangan  :  menggunakan aktivitas , postur,dan gerakan tertentu untuk mempertahankan ,meningkatkan,atau memulihkan keseimbangan
f.     Terapi Latian Fisik : Mobilitas Sendi : menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas sendi
g.    Terapi Latian Fisik : Pengendalian Otot : menggunakan aktivitas tertentu atau protocol latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali
h.    Pengaturan Posisi : mengatur posisi pasien atau bagian tubuh pasien secara berhati hati untuk meningkatkan kesejahteraan fisiologis dan psikologis
i.      Pengaturan Posisi : Kursi Roda : mengatur posisi pasien dengan benar di kursi roda pilihan untuk mencapai rasa nyaman , meningkatkan integritas kulit , dan menumbuhkan kemandirian pasien
j.      Bantuan Perawatan – Diri : Berpindah : membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya


BAB V
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka

B.       Saran
Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan kesehatan , sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB)  harus diobati secara tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat komplikasi yang lebih parah.




DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan  Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC2.13  

Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC2.14   

Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediatedpolyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226.

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:  EGC2.15   

Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.2.16   

Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

http://cupdate1.blogspot.co.id/2014/07/askep-gbs-guillain-bare-syndrom.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar