BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Guillain Bare’ Syndrom ( GBS) Adalah syndrom klinis yang
ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan
kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari
saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi
atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan
bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat
diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ terjadi dengan frekwensi yang sama
pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi
pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap
golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2
sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan
atau gastrointestinal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi
Guillain Barre Syndrom?
2.
Bagaimana
etiologi Guillain Barre Syndrom?
3.
Apa saja
klasifikasi Guillain Barre Syndrom?
4.
Bagaimana
Manefestasi klinis Guillain Barre Syndrom?
5.
Bagaimana
patofisiologis Guillain Barre Syndrom?
6.
Bagaimana
penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom?
7.
Bagaimana Pohon
masalah Guillain Barre Syndrom?
8.
Bagaimana
Asuhan keperawatan Guillain Barre Syndrom?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui definisi Guillain Barre Syndrom
2.
Untuk
mengetahui etiologi Guillain Barre Syndrom
3.
Untuk
mengetahui klasifikasi Guillain Barre Syndrom
4.
Untuk
mengetahui Manefestasi klinis Guillain Barre Syndrom
5.
Untuk
mengetahui patofisiologis Guillain Barre Syndrom
6.
Untuk
mengetahui penatalaksanaan Guillain Barre Syndrom
7.
Untuk
mengetahui Pohon masalah Guillain Barre Syndrom
8.
Untuk
mengetahui Asuhan keperawatan Guillain Barre Syndrom
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Definisi Guillain
Barre Syndrom
Guillain Barre Syndrom (GBS)
didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi neurologist. Terjadi secara
akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola ascending (merambat ke
atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang mengenai
saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang
tinggi. (Symposium Guillain Barre Syndrom,
di Brussel, 1937).
Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan
neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada
kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara ( Doenges:369).
B.
Etiologi Guillain
Barre Syndrom
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
- Infeksi
- Vaksinasi
- Pembedahan
- Penyakit sistematik
- Keganasan
- Systemic lupus erythematosus
- Tiroiditis
- Penyakit Addison
C.
Klasifikasi
Guillain Barre Syndrom
a.
Radang
polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling
banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b.
Sindroma Miller
Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi
sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni
oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%
kasus.
c.
Neuropati aksonal
motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik
Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan
penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a,
sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.
Neuropati aksonal
sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf
perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat.
Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.
Neuropati
panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan
angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia
f.
Ensefalitis batang
otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia,
gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff,
1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti
fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak,
seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis
BBE cukup baik.
D.
Manifestasi klinis
Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa
flu, demam, headache, pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang
1-4 minggu, sering muncul gejala berupa :
a.
Paraestasia (rasa
baal, kesemutan)
b.
Otot-otot lemas
(pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.
Saraf-saraf
cranialis sering terjadi patologi, shg
ganguan gerak bola mata, mimik wajah, bicara.
d.
Gangguan pernafasan
(kesulitan inspirasi
e.
Ganggua saraf-saraf
otonom (simpatis dan para simpatis)
f.
Gangguan frekuensi
jantung
g.
Ganggua irama
jantung
h.
Gangguan tekanan
darah
i.
Gangguan
proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian
punggung dan daerah lainnya.
E.
Patofisiologi
Guillain Barre Syndrom.
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan
system imun lewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah
responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf
perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer,
maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan
cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan
atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor
telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi
F.
Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrom
a.
Penatalaksanaan Keperawatan
( Perawatan Supportif)
a)
Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor
oksimetri dan AGD. Pernafasan mekanik, perawatan pasien dengan ventilator
mekanik.
b)
Kardiovaskuler :
monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan tekanan darah
(blood pressure ).
c)
Pemenuhan kebutuhan
cairan, elektrolit dan nutrisi.
d)
Perawatan secara
umum :
-
Physioterapi
-
perawatan pada
bagian-bagian tubuh yang tertekan
-
pertahankan ROM
sendi
-
pertahankan fungsi
paru
-
kultur urine dan
sputum tiap 2 minggu
-
pencegahan terhadap
tromboemboli
-
pemberian
antidepressant jika pasien depresi
b.
Penatalaksanaan
Medis
a)
Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari
dari timbulnya serangan / gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai
filter pada dialisa ginjal. Filter ini digunakan untuk menyaring keluar
antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun) yang menyerang dan merusak
lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang pasti dalam
melakukan tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien
disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma +
normal saline. Setiap hari setelah
terapi selesai, pasien diberi ± 4-5 unit
FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk
menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian
plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya
berhasil dengan sangat baik, namun jika
pasien tidak berespon terhadap terapi ini
sampai hari ke lima maka terapi / tindakan ini tidak diulangi. Tindakan
penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah pasien menggunakan
ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan ventilator
b)
Cairan , elektrolit
dan nutrisi.
c)
Sedative dan
analgetik.
G.
Pohon Masalah
terlampir
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
1.
Anamesa
a. Identitas
·
Nama
·
Alamat
·
Umur
·
Jenis kelamin
·
status
b. Keluhan
utama
c. Riwayat
Penyakit Sekarang
sejak kapan, semakin memburuknya
kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
d. Riwayat
Penyakit dahulu
Tanyakan pada pasien apakah
sering mengalami flu atau penyakit lain berhung dengan saluran pernapasan,
pencernaan, atau penyakit lain seperti HIV, TBC
e. Riwayat
psikososial
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
B1 (Breathing)
Klien tidak mengalami kesulitan
bernafas / sesak, pernafasan abdomen normal, tidak ada penurunan kapasitas
vital / paru.
b.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi /
bradikardi, wajah kemerahan.
c. B3
(Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan,
ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua
keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
d.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih,
retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih
e. B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah,
kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya
sensasi anal.
f. B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko
cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
B.
Diagnosa
1. Perubahan
perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
2. Hambatan
mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
3. Nyeri akut
b.d kerusakan saraf sensorik
4. Konstipasi
b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
C.
Intervensi
1. Dx. 1 :
Ketidak efektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonom.
Noc : Perfusi jaringan
efektif
Nic :
a.
Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi
postural. Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
b.
Pantau frekuensi jantung dan iramanya.
Dokumentasikan adanya distrimia.
c.
Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang
nyaman.
d.
Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan
latihan pasif pada lutut/kaki.
e.
Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai
indikasi.
f.
Pemberian heparin sesuai indikasi.
g.
Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
2. Dx. 2 :
Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan
mobilitas
Nic :
a.
Kaji kekuatan motorik/kemampuan fungsional dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur sesuai kebutuhan
secara individual.
b.
Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal,
trochanter roll, papan kaki.
c.
Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM
aktif/pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
d.
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus
dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual.
3. Dx 3 : Nyeri
akut b.d kerusakan saraf sensori
Noc : Nyeri teratasi
Nic :
a.
Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan
menggunakan skala 0-10.
b.
Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri
tersebut.
c.
Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi
pasien secara individual
d.
Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
e.
Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.
4. Dx 4 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex
sfingte
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic :
a.
Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan
bising usus.
b.
Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000
ml/hari (jika pasien dapat menelan).
c.
Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal
waktu secara teratur.
d.
Beri obat pelembek feses.
e.
Tingkatkan diet makanan yang berserat.
BAB IV
CASE STUDY
A.
Deskripsi Kasus
Seorang
laki-laki 18 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan tiba-tiba mengalami kelumpuhan kaki yang lama
kelamaan menjalar sampai Ke pinggang. Klien mengeluh tidak bisa berdiri ataupun
berjalan serta tidak bisa mengontrol BAB dan BAK. Hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan bahwa klien mengalami GBS.
B.
Pengkajian
1.
Pengkajian
a.
Identitas klien
Nama
: Muhammad Al Azeem
Alamat : Jl. Budi Utomo Ponorogo
Umur
: 18
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Lajang
b.
Keluhan utama :
kelumpuhan, kelemahan, dan inkontinensia urin & alvi
c.
Riwayat penyakit sekarang
Sejak 1 hari yang lalu klien mengeluh
tidak bisa berdiri, kondisi semakin memburuk yaitu klien mengeluh kelumpuhannya
menjalar ke bagian pinggang dan tidak bisa mengontrol BAB & BAK, upaya yang
dilakukan selama menderita kelumpuhan yaitu keluarga membantu mobilisasi klien
dan membantu higiene klien.
d.
Riwayat penyakit Dahulu
Sebelum klien mengalami kelumpuhan,
dahulu klien tidak pernah mengalami tindakan bedah saraf.
e.
Riwayat Psikososial
Emosi klien tidak terkendali saat
mengalami kelumpuhan.
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
B1 (Breathing)
Klien tidak mengalami kesulitan
bernafas / sesak, pernafasan abdomen normal, tidak ada penurunan kapasitas
vital / paru.
b.
B2 (Bleeding)
Tekanan darah normal, denyut nadi
normal.
c.
B3 (Brain)
Kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas
sensasi nyeri turun, gangguan keseimbangan tubuh.
d.
B4 (Bladder)
Menurunnya fungsi kandung kemih.
e. B5 ( Bowel)
Tidak dapat mengontrol BAB, hilangnya
sensasi anal.
f. B6 (Bone)
Gangguan
mobilitas fisik-resiko cidera
C.
Diagnosa
1.
Inkontinensia urine reflek
2.
Hambatan Mobilisasi Fisik
D.
Intervensi
1.
Dx :Inkontinensia
urine reflek berhubungan dengan penururan kapasitas kandung kemih. (Misalnya, riwayat
penyakit radang panggul)
Intervensi :
a.
Bantuan perawatan diri
:
eliminasi
: membantu individu lain melakukan eliminasi manasemen eliminasi urine :
memelihara pola eliminasi urine yang optimum.
b.
Pelatihan kebiasaan
berkemih : menetapkan pola pengosongan kandung kemih yang dapat diperkirakan
untuk mencegah ikontinensia pada individu yang mengalami keterbatasan kemampuan
kognitif dan menderita ikontinensia urgensi, stress/fungsional
c.
Perawatan ikontinensia
urine : membantu meningkatkan kontinensia dan mempertahankan integritas kulit
perineum
2.
Dx :Hambatan Mobilisasi Fisik
Berhubungan Dengan Penurunan Kekuatan Kendali atau Masa Otot
Intervensi :
a.
Promosi Mekanika Tubuh : memfasilitasi penggunaan postur dan
pergerakan dalam aktivitas sehari hari untuk mencegah keletihan dan ketegangan
atau cedera musculoskeletal
b.
Promosi Latihan Fisik : Latihan Kekuatan : memfasilitasi
pelatihan otot resistif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan otot
c.
Terapi Latihan Fisik : Keseimbangan : menggunakan
aktivitas,postur, dan gerakan tertentu untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekuatan otot
d.
Terapi Latian Fisik : Ambulasi : meningkatkan dan membantu
dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh
autonom dan volunter selama pengobatan
dan pemulihan dari kondisi sakit atau cidera
e.
Terapi Latian Fisik : Keseimbangan :
menggunakan aktivitas , postur,dan gerakan tertentu untuk mempertahankan
,meningkatkan,atau memulihkan keseimbangan
f.
Terapi Latian Fisik : Mobilitas Sendi : menggunakan gerakan
tubuh aktif dan pasif untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas
sendi
g.
Terapi Latian Fisik : Pengendalian Otot : menggunakan
aktivitas tertentu atau protocol latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau
mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali
h.
Pengaturan Posisi : mengatur posisi pasien atau bagian tubuh
pasien secara berhati hati untuk meningkatkan kesejahteraan fisiologis dan
psikologis
i. Pengaturan
Posisi : Kursi Roda : mengatur posisi pasien dengan benar di kursi roda pilihan
untuk mencapai rasa nyaman , meningkatkan integritas kulit , dan menumbuhkan
kemandirian pasien
j. Bantuan
Perawatan – Diri : Berpindah : membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem
saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe
lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga
muka
B.
Saran
Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga
kebersihan kesehatan , sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain
Barre (SGB) harus diobati secara tuntas
agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat komplikasi yang
lebih parah.
DAFTAR PUSTAKA
Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan
Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol
1. Jakarta: EGC2.13
Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman
untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta:
EGC2.14
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of
acute immuno-mediatedpolyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226.
Carpenito,
Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC2.15
Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam :
Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179, Badan Penerbit FK UNDIP,
Semarang.2.16
Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi
Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam
: Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
FKUI, Jakarta.
http://cupdate1.blogspot.co.id/2014/07/askep-gbs-guillain-bare-syndrom.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar