BAB I
PENDAHULAAN
A. LATAR BELAKANG
Allah menciptakan sesuatu dengan
pasang-pasangan, laki-laki perempuan , hewan jantan dan betina, siang dam malam
dan sebagainya, manusia hidup berpasangan-pasangan menjadi suami istri
menbangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan
ikatan dan pertalian yang kekal dan tidak mudah diputuskan, yaitu ikatan akad
nikah atau ijab Kabul perkawinan. Bila akad nikah telah dilangsungkan
maka mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah tangga yang sakinah
dan mawadah warohmah, yang natinya akan akan lahir keturunan-keturunan dari
mereka.
Dalam hukum islam tujuan perkawianan
adalah menjalankan perintah allah SWT agar meperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dan membentuk keluarga yang bahagia. Artinya ketika seseorang
memutuskan untuk menikah, maka lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan
untuk untuk menciptakan ketenangan. Dan kedamaian bagi manusia yang telah
mampuh unuk melaksanakannya. Sebagai firman allah :
ﻴﺎﻤﻌﺳﺮﺍﻟﺷﺎﺐ ﻤﻦ ﺍﺳﺘﻁﺎﻉ ﻤﻧﻛﻢ ﺍﻟﺑﺎﺀﺓ
ﻓﻠﻴﺘﺯ ﻮﺝ
“hai
sekalian pemuda . siap yang sanggup bersetubu (Karena ada belanja nika),
hendaklah berkawin”
ﻓﺎﻧﻛﺣﻮ ﺍﻤﺎ ﻂﺎﺐ ﻠﻛﻢ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺴﺂﺀﻤﺛﻦ ﻮﺛﻠﺚ
ﻮﺮﺑﺎﻉ ﺨﻔﺗﻡ ﺍﻻﺗﻌﺪ ﻠﻮ ﺍﻔﻮ ﺍﺣﺫﺓ
﴿ ﺍﻠﻧﺳﺎﺀ :٣﴾
“ Maka
kawianlah perempuan yang kamu sukai, satu, dua, tiga dan emapat, tetapi kalau
kamu kautir tidak berlaku adil (diantara prempuan-prempuan Itu), hendaklah satu
saja”(QS.Anisa.ayat 3)
Dalam firman Allah SWT dan sabda rosulnya mengajukan perkawinan. yang
diatas sudah jelas.
Namun akhir ini banyak temuan kasus perkawinan sirih di berbagai kalangan,
misalnya media cetak, maupun media elektronik dalam acara infotemen dalam
siaran TV swasta, banyak sekali tayangan-tanyangan maraknya tentang perkawinan
sirih mulai dari kalangan tokoh politik, selebritis maupun masyarakat biasa,
meski perkawinan tersebut sah menurut agama namun belum tentu secara hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Itu Nikah Siri?
2.
Bagaimana Tata Cara Pernikahan Siri?
3.
Bagaimana Hukum Nikah Siri Menurut Islam?
4.
Bagaimana Hukum Nikah Siri Menurut Hukum di Indonesia?
C. TUJUAN
1.
Untuk Mengetahui Apa Itu Nikah Siri
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana Tata Cara Pernikahan Siri
3.
Untuk Mengetahui Bagaimana Hukum Nikah Siri Menurut
Islam
4.
Untuk Mengetahui Bagaimana Hukum Nikah Siri Menurut
Hukum di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NIKAH
SIRI
Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri
adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak. Secara
umum Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan
sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang
menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal
oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang diwakili Departemen
Agama. Nikah siri dalam konteks masyarakat sering dimaksudkan dalam beberapa
pengertian.
Pertama, nikah yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi,
tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga nikah
mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu,
dan lain sebagainya.
Kedua, nikah yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang
laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan
benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan
saksinya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan
stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri,
atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
B. TATA CARA
PERNIKAHAN SIRI
Kehidupan bersuami istri yang dibangun melalui lembaga perkawinan,
sesungguhnya bukanlah semanta-mata dalam rangka penyaluran hasrat biologis.
Maksud dan tujuan nikah jauh lebih luas dibandingkan sekedar hubungan seksual.
Bahkan apibila dipandang dari aspek religius, pada hakekatnya nikah adalah
salah satu bentuk pengabdian kepada Allah. Karena itu, nikah yang sarat nilai
dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan
disyariatkannya nikah tercapai. Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal
keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Sahnya suatu nikah dalam Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Untuk sahnya perkawinan, para ulama
telah merumuskan sekian banyak rukun dan syarat, yang mereka pahami dari
ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW. Adanya calon suami isteri, wali, dua
orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab kabul merupakan rukun atau
syarat sahnya suatu pernikahan. Tata cara menikah siri tidak jauh beda dengan
menikah secara resmi di KUA, dimana dalam pernikahan itu harus dipenuhi syarat
dan rukunnya.
- Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
- Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau
menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya
seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya
menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah
seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami
anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya
dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki
bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
3.
Adanya Mahar (mas kawin)
Islam
memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya
menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu
dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut
kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan
sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya. Dari Uqbah bin Amir,
bersabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan”
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh
Al-Albani)
4.
Adanya Wali
Dari Abu
Musa ra, Nabi SAW bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.”
(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud). Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang
ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya
(ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak
saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau
hakim.
5.
Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah
SAW bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang
saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat
Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557). Menurut sunnah
Rasulullah SAW, sebelum aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang
dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
C. HUKUM
PERNIKAHAN SIRI MENURUT
ISLAM
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau
diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirih
digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah
yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu pada dasarnya
sudah sah. Hanya saja bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan
agar nikah itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi
fitnah. Sesuai hadis Nabi saw :
وروى أحمد
وغيره عن ابن حاطب: (فصل مابين الحلال والحرام الضرب بالدف(
Artinya :
“Yang membedakan antara acara pernikahan
yang halal dan yang haram, adalah adanya tabuhan rebana.”
Secara
mendasar, tidak dilihat dari tabuhan rebananya, melainkan yang menjadi hal
mendasar adalah upaya untuk menyebarluaskan berita tentang acara pernikahan
yang diselenggarakan.
Istilah
nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan ulama.
Hanya saja nikah siri di kenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan
nikah siri dapat saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah
yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja
saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak
ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-‘Ursy. Berikut
ini adalah pendapat para ulama Islam tentang nikah siri.
1.
Menurut pandangna mahzab Hanafi dan Hambali suatu
penikahan yang sarat dan rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah
itu adalah pernikahn siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi, artinya:
“Takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan
amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat
Allah (ijab qabul)” (HR Muslim).
2.
Menurut terminologi fikih Maliki, nikah siri ialah :
هو الذي يو
صي فيه الزوج الشهود مكتمه عن امراته, او عن جما عة ولو اهل منزل.
Artinya :
“Nikah yang atas pesan suami,
para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga
setempat.
Mazhab
Maliki tidak membolehkan nikah siri. Perkawinannya dapat dibatalkan, dan kedua
pelakunya dapat dilakukan hukuman had (dera rajam), jika telah terjadi
hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat
orang saksi.
Pada
dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah
agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang
dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang
bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis
peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i. Kesaksian
dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga
absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak
boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan
pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian
saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan
ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan
pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.
Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut
sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’i. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Pada era
keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan
maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan
orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu,
melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa
dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan
masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya,
para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal
pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami
bahwa pembuktian syar’i bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw
sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa
melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka, walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya
firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 282 :
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Pada
dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan
dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan
walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda :
حَدَّثَنَا
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakanlah
walimah walaupun dengan seekor kambing.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
D. HUKUM
PERNIKAHAN SIRI MENURUT
HUKUM DI INDONESIA
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan
pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya
peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah
atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur
telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut
adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya
perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi
oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU
Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh
Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan
dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9
tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan
perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup
menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara
pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana
perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian
pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya
tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan
untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman
tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum.
Di dalam rancangan undang-undang menjelaskan, Pasal 143 RUU yang hanya
diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga
tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri, draf
RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak. Dan Pasal 144 menyebut,
setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3
tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal
perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat
3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang
jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang nikah di
bawah tangan atau nikah siri dengan 2 (dua) ketentuan hukum, yakni. (1)
Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif (madharrah). (2)
Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai
langkah preventif untuk menolak hal-hal yang bersifat madharrah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pernikahan siri adalah nika dibawah
tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena
tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non
muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah
yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan
tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap
dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan sesuai dengan
Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya dengan cara
inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan
agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun
nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang
perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada
yang tidak lengkap secara administrasi.
B. SARAN
Kepada pemuda pemudi islam tidak
mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat merugikan. Dan berusaha
menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan penyuluhan dan
dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuh. Juz VIII. Cet.
III. Beirut: Dar al-Fikr. 1989.
Amin, Ma’ruf. dkk. HIMPUNAN FATWA MUI SEJAK 1975. Jakarta:
Erlangga. 2011.
Aulawi, Wasit. Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat, Mimbar
Hukum. No. 28. 1996.
Fenomena-nikah-siri-di-indonesia-jaman.html.
19/09/2013. 11:31.
Rusli, An R. Tama. Perkawinan antar agama dan masalahnya. Penerbit
: Shantika Dharma. Bandung. 1984.
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Perbagai
Persoalan Umat. Cet. VIII. Jakarta: Mizan. 1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Nikah Islam di Indonesia: Antara Fikih
Munakahat dan Undang-Undang Nikah .Cet. II. Jakarta: Kencana. 2007.
http://www.google.com/Pernikahan-Siri-dari-Perspektif-Hukum-Indonesia.
19/09/2013. 11:36.